Halaman

Selasa, 25 Juni 2013

Makalah ISBD

-->
MAKALAH ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
LUNTURNYA BAHASA JAWA DI TANAH JAWA
Dianisa Khoirum Sandi
JURUSAN FISIKA FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional.
Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Kekayaan budaya Indonesia sangat terkait dengan keanekaragaman bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Karena kearifan lokal tercermin dari bahasa daerah. Tapi saat ini bahasa daerah di Indonesia semakin terdesak. Sejumlah bahasa daerah terancam bahkan telah punah akibat jarangnya hingga tidak adanya penutur atau yang menggunakan bahasa daerah. Perkembangan industri media massa yang pesat saat ini turut berperan dalam mempengaruhi semakin terdesaknya bahasa daerah.
Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran penting dalam mempertahankan budaya suatu masyarakat. Karena bahasa memanfaatkan tanda-tanda yang ada di lingkungan suatu masyarakat. Kearifan lokal suatu daerah bisa tercermin dari bahasa yang digunakan. Oleh karena itu setiap bahasa daerah memiliki nilai luhur untuk menciptakan masyarakatnya berkehidupan lebih baik menurut mereka.
            Bahasa Jawa yang merupakan peninggalan budaya dari zaman nenek moyang khususnya di tanah jawa, kian hari menghilang. Bahkan, jika tidak ada usaha untuk mengembangkan dan melestarikan, diperkirakan punah pada tiga generasi yang akan datang. Kekhawatiran tersebut sudah dirasakan secara konkret pada masa sekarang dimana sudah sangat sedikit generasi muda yang tidak bisa membaca aksara Jawa. Maka, bukan tidak mungkin tak ada yang menguasai bahasa Jawa jika tidak ada upaya penyelematan.
Fenomena ditinggalkannya bahasa Jawa sebagai bahasa ibu harus diakui sudah terjadi saat ini. Banyak orangtua yang menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi pada kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan komunikasi pada lingkungan bermasyarakat maupun lingkungan sekolah. Bahasa Indonesia di DIY telah menjadi pilihan pertama dibandingkan bahasa Jawa, terutama di perkotaan.
Bukan hanya bahasa krama, bahasa ngoko pun sudah mulai ditinggalkan sebagian masyarakat Jawa. Saat ini hampir semua orangtua di kota-kota Jawa Tengah mengajari bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi keluarga sehari-hari, meski sang orangtua seorang jawa tulen. Bila seluruh Balita sekarang tak ada yang berkomunikasi dengan bahasa kromo, bukan mustahil beberapa generasi akan datang tak dapat lagi kita jumpai bahasa jawa Kromo. Sungguh sangat memprihatinkan bila kelak masyarakat kita belajar bahasa Jawa di Suriname, bukan di Indonesia yang notabene negeri asal bahasa Jawa.Melihat realita diatas, sudah selayaknya kita terus melestarikan bahasa Jawa tanpa meninggalkan rasa nasionalisme kita.
Di satu sisi, bahasa merupakan salah satu alat pemersatu dan identitas bangsa dalam komunitasnya masing-masing, dalam hal ini bahasa Jawa pada komunitas masyarakat Jawa tentunya. Jika kehidupan bahasa Jawa telah mulai terancam, bagaimana dengan masyarakatnya? Secara tidak langsung, ketika bahasa Jawa terancam punah, maka dapat mengakibatkan bercerai-berainya masyarakat Jawa itu sendiri dan berangsur-angsur hilanglah identitasnya.
Hal ini bukanlah masalah kecil dalam perkembangan budaya masyarakat Jawa, namun karena tidak terungkap secara vulgar dalam satu kesatuan masyarakatnya, maka tidak dianggap sebagai sebuah masalah besar yang mengancam dalam kehidupannya. Hal ini tentu nengkhawatirkan karena dengan punahnya suatu bahasa berarti punahnya suatu warisan budaya.

B.                 Tujuan
1.      Memahami fenomena lunturnya bahasa jawa saat ini.
2.      Memahami sebab – sebab lunturnya bahasa jawa di tanah jawa.
3.      Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan/melestarikan bahasa jawa di tanah jawa.

C.                 Rumusan Masalah
1.      Apa sebab lunturnya bahasa jawa ?
2.      Upaya apa saja yang bisa digunakan untuk menyelamatkan bahasa daerah khususnya bahasa jawa ?

BAB II
ISI

A.                Sepintas tentang Bahasa Jawa
Indonesia memiliki sekitar 600 bahasa daerah (BD) yang berperan sebagai bahasa ibu, dengan jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Di antara semua BD tersebut, hanya delapan BD yang dikategorikan BD utama, yaitu bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Banjar, dan Bali. Urutan ini berdasarkan jumlah penuturnya – secara empiris, semakin besar penutur dan beragam ranah pemakaiannya, maka semakin tinggi vitalitas BD tersebut (Alwasilah 2006:69). Dari delapan BD utama mengerucut menjadi tiga BD berdasarkan publikasinya, yaitu Sunda, Jawa, dan Bali.
Secara geografis, Bahasa Jawa merupakan bahasa yang dipakai di daerah -daerah Provinsi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Di Jawa Timur, khusus daerah Besuki sampai Probolinggo bagian utara memakai bahasa campuran antara Bahasa Jawa dan Madura.  Di luar negara Indonesia, negara Suriname adalah Negara yang juga menggunakan Bahasa Jawa.Bahasa Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur atau unggahungguhing basa. Bahasa Jawa adalah satu dari sedikit bahasa daerah di Indonesia yang memiliki sistem aksara. Aksara Jawa terdiri dari dua puluh huruf yang berbentuk mirip aksara Bali dan Sunda. Saat ini aksara Jawa sangat jarang dipakai, tergantikan oleh aksara latin yang lebih universal. Penggunaan aksara latin membuat aksara Jawa semakin mendekati kepunahan. Meskipun di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur Sekolah Dasar masih mengajarkan aksara Jawa, namun masih kurang untuk menjaga eksistensi aksara Jawa.

B.                 Lunturnya Bahasa Daerah
Semakin berkurangnya orang yang menggunakan bahasa daerah, karena beberapa sebab, di antaranya kondisi masyarakat yang multietnik sehingga terjadi kontak antar bahasa sehingga bahasa yang satu lebih sering digunakan daripada bahasa yang lain. (Tondo, 2009: 278). Tapi selain itu perkembangan media massa yang begitu pesat saat ini di masyarakat juga turut mempengaruhi berkurangnya penutur bahasa daerah.  Penetrasi media massa yang begitu luar biasa ke pelosok daerah membuat mereka mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Faktor-faktor penyebab punahnya suatu bahasa Menurut pakar bahasa Prof. Dr Edi Subroto (UNS) adalah ketertarikan generasi muda untuk mempelajari bahasa asing. Mereka cenderung enggan untuk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian. Selain itu faktor pendorong punahnya suatu bahasa daerah menurut Prof. Dr. Asim Gunarwan, pakar bahasa UI adalah faktor vitalisasi linguistik, biaya dan keuntungan. Orang cenderung untuk lebih mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah karena faktor keuntungan yang akan didapat. Menurut Asim punahnya suatu bahasa membutuhkan waktu antara 75-100 tahun atau sekitar 3 generasi. Ia juga melihat potensi punahnya bahasa Jawa, bahasa Lampung dan Bali.
Faktor – faktor lain penyebab lunturnya bahasa daerah khususnya bahasa jawa adalah :
1.      Malu menggunakan bahasa daerah
Ditemukan bahwa orang jawa sekarang malu menggunakan bahasa Jawa, dan lebih menyukai bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan. (Posted by: Arif Budiman | Jumat, 23 Nopember 2007 Blog pada WordPress.com. | Theme: Ocean Mist by Ed Merritt).
2.      Lingkungan
Pengaruh lingkungan dalam keluarga (Jawa) misalnya, sebagian besar tidak lagi menggunakan bahasa jawa seperti yang terjadi pada jaman era orang-orang tua terdahulu. Orang – orang tua saat ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
3.      Globalisasi
Globalisasi mempengaruhi bahasa jawa dan kebudayaan. Dampak positif terhadap kebudayaan jawa:
a.       Semakin dikenalnya suatu kebudayaan dari suatu Negara ke seluruh pelosok dunia.
b.      Meningkatkan jumlah devisa negara karena wisata budaya.
c.       Meningkatkan kreativitas dalam berkarya
d.      Membuat kebudayaan semakin maju
Dampak negatif terhadap kebudayaan Jawa
a.         Westernisasi  yang semakin marak, dimana budaya barat dianggap sebagai budaya yang lebih maju dan terus ditiru terutama oleh Negara yang sedang berkembang.
b.         Melunturnya jati diri bangsa karena anak muda berkiblat terhadap kebudayaan asing dan kurang menghargai kebudayaan sendiri, sehingga ada kecenderungan kebudayaan semakin lama semakin tergerus arus globalisasi.
c.         Budaya hedonisme dan konsumerisme yang terus berkembang tanpa bisa dicegah.
4.      Penutur
Ada bahasa yang mati karena ditinggalkan oleh para penuturnya. Karena mereka meninggalkan bahasa ibunya dan pindah ke bahasa lain karena dipaksa. Ini terjadi pada penduduk asli Australia. Penuturnya terpaksa memilih pindah ke bahasa lain karena bahasa lain dianggap lebih maju dan modern, sedangkan bahasa ibu dianggap terbelakang, seperti yang terjadi pada mayarakat Papua Nugini.
5.      Mengajarkan bahasa non-ibu sebagai bahasa pendidikan.
Diantara penyebab kepunahan itu, gejala yang terjadi di Indonesia, khususnya  Jawa, adalah munculnya generasi muda yang lebih  suka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing yang dianggap lebih maju dan modern.

C.                 Kebudayaan dan Bahasa Jawa Harus Dilestarikan dan Dipertahankan.
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi Etnis Jawa. UNESCO mengemukakan bahwa untuk menjaga agar tidak termasuk bahasa yang mengalami kepunahan, Bahasa Jawa harus dilestarikan. Sebagai bahasa ibu, bahasa jawa secara dini harus kita lestarikan agar keberadaannya selalu terjaga dan terhindar dari kepunahan.
Crystal (1997) mendefinisikan pemertahanan bahasa (language maintenance) sebagai upaya yang disengaja, diantaranya yaitu: (1) mewujudkan diversitas kultural, (2) memelihara identitas etnis, (3) memungkinkan adaptabilitas sosial, (4) secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistis. Kelima poin tersebut satu sama lain saling terkait dengan konteks kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketahanan budaya perlu diadakan upaya pemertahanan BD (sebagai bahasa ibu) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, BD akan bertahan jika prestasi dan prestise para penuturnya berkibar minimal di ranah daerahnya sampai ke ranah nasional bahkan internasional. Salah satu upayanya yaitu menerjemahkan karya sastra daerah ke bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, contoh terbitnya buku kumpulan puisi Sunda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java in Sundanese and English”.
Kedua, BD akan bertahan jika kemakmuran para penuturnya unggul secara kolektif minimal di ranah daerahnya. Kelompok yang menguasai sumber-sumber ekonomi akan lebih mudah menguasai kunci-kunci sosial budaya. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris yang mendirikan dan membiayai The British Council sampai keberadaannya tersebar di seluruh penjuru dunia.
Ketiga, BD akan bertahan jika para penuturnya aktif menggunakannya dalam media tulis. Disadari atau tidak, globalisasi saat ini telah menyapu kearifan lokal. Oleh karena itu, membaca, mengkritik, dan menulis ulang tulisan BD sangat perlu untuk dilakukan.
Keempat, BD akan bertahan jika para penuturnya aktif menggunakan teknologi elektronik. Untuk mengimbangi bahasa Indonesia dan asing, para penutur BD perlu memanfaatkan teknologi. Kehadiran televisi lokal yang tersebar di Indonesia merupakan potensi yang perlu dikembangkan dengan mengdepankan BD sebagai bahasa pengantarnya.
Kelima, BD akan bertahan jika bahasa pengantar dalam pendidikan menggunakan BD. Hal ini sesuai dengan fatwa global UNESCO pada tahun 1951 yang mengharuskan bahasa pengantar pendidikan dalam bahasa ibu. Alasan UNESCO mengeluarkan fatwa tersebut adalah (1) secara psikologi, siswa memiliki kelekatan emosional terhadap bahasa ibu, (2) secara sosiologis, bahasa ibu dipergunakan secara produktif di luar kelas dan dalam keluarga, dan (3) secara edukatif, pengetahuan akan mudah dicerna oleh siswa manakala disajikan melalui bahasa yang telah diakrabinya (Alwasilah 2006:77).
Keenam, BD akan bertahan jika tujuan pengajaran BD di sekolah-sekolah diorientasikan kepada kefasihan, yakni pembiasaan komunikasi bukan ketepatan dalam struktur BD. Generasi muda saat ini cenderung malas menggunakan BD karena ada perasaan takut salah dalam mengaplikasikan struktur BD. Mereka takut melanggar aturan-aturan struktur BD yang dinilai rumit dan kompleks. Seperti penggunaan bahasa kromo, ngoko dalam bahasa Jawa dan undak-usuk basa dalam bahasa Sunda.
Pemertahanan bahasa daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti digunakannya bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan dan digunakannya bahasa daerah sebagai mata pelajaran tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas.  Bahkan, ada pemerintah daerah yang memberlakukan penggunaan bahasa daearah (Jawa) bagi karyawan pemerintah daerah pada hari tertentu  juga merupakan upaya pemertahanan bahasa daerah.
Pembelajaran bahasa dan sastra jawa sebagai upaya pelestarian kebudayaan dan bahasa jawa:
1.      Upaya pelestarian bahasa dalam lingkup formal.
Upaya pelestarian memang perlu mengingat saat ini ada gejala yang menunjukkan bahwa bahasa jawa akan ditinggalkan oleh penuturnya, terutama kaum muda melalui jalur pendidikan, yaitu melalui pembelajaran bahasa dan sastra jawa dalam kerangka budaya jawa. Jalur ini merupakan upaya yang dapat dikatakan sangat efektif dalam usaha pelestarian kebudayaan dan bahasa jawa. Oleh karena itu, bahasa jawa tidak cukup kiranya apabila hanya diberikan kepada siswa pada tingkat SD dan SMP saja, melainkan SMA pula.
Pembelajaran bahasa dan sastra jawa kepada para siswa SD sampai SMA harus berada dalam kerangka budaya kita. Secara geografis bahasa jawa terbagi menjadi tiga dialek besar, yaitu bahasa jawa dialek Surakarta dan Yogyakarta yang dianggap sebagai dialek standar, bahasa jawa dialek Banyumasan, dan bahasa jawa dialek Jawa Timur.
Oleh karena itu pembelajaran bahasa jawa harus disesuaikan dengan budaya di daerah masing-masing. Dengan begitu, pembelajaran akan lebih menarik dan segar. Para pembelajar bahasa jawa dialek Banyumas tidak bersusah payah mempelajari bahasa jawa dialek Surakarta yang terlalu sulit bagi mereka, baik dari segi fonologi, morfologi, maupun kosakatanya.
Dalam situasi-situasi formal lain, misalnya dalam rapat-rapat desa, komunikasi di kantor-kantor desa dan sebagainya. Dalam situasi -situasi formal inilah hendaknya kita lebih menggiatkan pemakaian bahasa jawaagar tidak menjadi asing di rumah kita sendiri, khususnya bagi generasi muda, karena generasi muda Etnis Jawa saat ini telah banyak yang tidak bisa berbahasa Jawa terutama bahasa Jawa ragam krama. Padahal ini penting kaitannya dengan unggah ungguh (tingkat tutur) dalam kehidupan masyarakat. Unggah ungguh ini bisa secara otomatis tertanam dalam jiwa seseorang manakala seseorang tersebut memahami unggah ungguh dalam berbahasa.
2.      Upaya Pelestarian bahasa jawa dalam lingkup Non-Formal
Upaya pelestarian bahasa jawa kiranya tidak cukup jika hanya melalui pembelajaran di sekolah.  Dalam kegiatan non-formal agar bahasa jawa tetap lestari, bahasa ini sebaiknya juga digunakan oleh para orang tua kepada anak – anaknya.
3.      Pemertahanan Bahasa Daerah dengan Karya Sastra
Pengunaan bahasa daerah  yang ditampilkan pengarang dalam karya sastra Indonesia juga dapat disebut sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah dari kepunahan karena pengarang telah melakukan pendokumenan bahasa dan budaya daerah  melalui karya sastra. Dalam pengajaran bahasa yang tercakup juga  pengajaran sastra diperlukan adanya bahan ajar karya sastra Indonesia. Untuk itu, karya sastra Indonesia yang menggunakan bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahan ajar karena akan memberi informasi bahasa daerah  dan kandungan nilai yang ada dalam kata atau bahasa daearah.
Dengan demikian, siswa mendapat materi bahasa, yaitu bahasa yang tidak sekadar informasi dan deretan bunyi, tetapi siswa juga dapat belajar dari nilai yang tertuang dalam kata atau bahasa daerah.  Misalnya,   ketika kita mengatakan permohonan maaf yang dalam bahasa Jawa adalah nyuwun sewu tidak sekadar mengucapkan bunyi [nyuwun sewu], tetapi sekaligus belajar etika bahwa kata itu digunakan dengan hormat, ikhlas, sopan, dengan suara tidak keras. Dengan demikian, kita belajar bahasa daerah sekaligus belajar tentang nilai-nilai local.
Berkaitan dengan hal tersebut, Poedjosoedarmo (2003) mengatakan bahwa longgarnya moral dan etika pada kalangan Jawa erat kaitannya dengan mulai longgarnya penguasaan generasi muda Jawa akan sistem tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Hal itu dapat dipahami karena belajar bahasa tidak hanya sekadar belajar menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi, tetapi juga belajar tentang nilai yang tertuang dalam bahasa itu.
4.      Melestarikan Bahasa Jawa melalui sebuah komunitas
Melestarikan bahasa jawa melalui sebuah komunitas telah dilakukan salah satu contohnya dilakukan oleh Sekar Kedaton. Sekar Kedaton adalah komunitas perempuan di Jakarta yang mempelajari bahasa dan budaya Jawa sebagai bagian dari kebinekaan Indonesia.  Sekar Kedaton beranggotakan 14 orang dibentuk pada Februari 2010 sebagai ajang pertemuan perempuan sambil mengadakan arisan dengan penasihat Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Djatmiko Hamidjojo Santoso, kerabat kraton Mangkunegaran, Solo, yang akrab disapa Mas Miko.  Dari sekadar kumpul-kumpul, tergagas keinginan untuk mendalami bahasa Jawa. Untuk memperdalam pengetahuan kebahasaan, mereka mendatangkan guru bahasa Jawa dalam pertemuan yang mereka gelar sekali sebulan.

Sebagian diatas hanyalah beberapa cara untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa daerah (BD) yang dalam makalah ini ditujukan sebagai upaya pemertahanan dan pelestarian bahasa jawa di tanah Jawa. Tentu tidaklah mudah mempertahankan BD sebagai bahasa ibu, selain karena derasnya arus globalisasi, sifat kebahasaan yang arbitrary dan dinamis juga berpengaruh dalam eksistensi BD di Indonesia. Namun itu semua bukanlah alasan untuk tidak mempertahankan BD, karena BD adalah kekayaan lokal Indonesia yang harus dijaga sesuai dengan amanat Pasal 32 ayat 2 UUD 1945.

BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
1.      Sebab – sebab lunturnya budaya bahasa jawa, diantaranya adalah :
a.       Malu menggunakan bahasa daerah
b.      Lingkungan
c.       Globalisasi
d.      Penutur
e.       Mengajarkan bahasa non-ibu sebagai bahasa pendidikan
f.       Faktor vitalisasi linguistik, biaya dan keuntungan. Orang lebih cenderung mempelajari bahasa asing karena keuntungan.
g.      Perkembangan media masa
2.      Upaya yang dapat dilakukan unituk mencegah punahnya bahasa jawa,
a.       Upaya pelestarian bahasa dalam lingkup formal, yang dapat dilakukan di sekolah, dalam rapat-rapat desa, komunikasi di kantor –kantor desa dan sebagainya.
b.      Upaya pelestarian bahasa dalam lingkup non formal, seperti menggunakan bahasa jawa dalam aktivitas sehari – hari.
c.       Upaya pelestarian bahasa jawa melalui karya sastra
d.      Upaya pelestarian bahasa jawa melalui sebuah komunitas.

B.                 Saran
Untuk itu untuk melestarikan bahasa hendaknya nenggunakan bahasa daerah sebagai media komunikasi sehari-hari. Karena keragaman bahasa di Indonesia merupakan kekayaan khazanah bangsa. Sebenar tidak ada salahnya jika mempelajari dan menggunakan bahasa Inonesia maupun bahasa asing sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan berkomunikasi dengan seseorang dilain daerah, akan tetapi akan jauh lebih baik jika bahasa daerah yang notabennya merupakan bahasa sendiri juga tetap digunakan dalam aktifitas sehari – hari dan dilestarikan.
Tentu tidaklah mudah mempertahankan BD sebagai bahasa ibu, selain karena derasnya arus globalisasi, sifat kebahasaan yang arbitrary dan dinamis juga berpengaruh dalam eksistensi BD di Indonesia. Namun itu semua bukanlah alasan untuk tidak mempertahankan BD, karena BD adalah kekayaan lokal Indonesia yang harus dijaga sesuai dengan amanat Pasal 32 ayat 2 UUD 1945.

C.                 Daftar Pustaka
Anonim.2013.Bahasa Jawa Diprediksi Punah Tiga Generasi lagi (online), (http://jogja.tribunnews.com/rss). diakses pada tanggal 19 Mei 2013
Rusdi, farid.2012.Bahasa Daerah dan Industri Radio.Jakarta : Universitas Taruma Negara

Septiningsih, lustantini.2013. Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya Sastra (online), (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1286), diakses pada tanggal 20 Mei 2013

Setyani indah, turita.2008. Abstraksi Bahasa Jawa Sebagai Simbol Budaya Masyarakatnya.Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univesitas Indonesia
Tarniati, embun.2012.Kemerosotan Pemakaian Bahasa Jawa (online), (http://embunsayan.blogspot.com/). diakses pada tanggal 19 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar