MAKALAH ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
LUNTURNYA BAHASA JAWA DI TANAH
JAWA
Dianisa Khoirum Sandi
JURUSAN FISIKA FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam
suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan.
Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Kebudayaan daerah merupakan
faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan
kebudayaan nasional.
Maka atas dasar itulah
segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya
nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari
kebudayaan daerah, akan sangat berpengaruh pula terhadap kebudayaan daerah atau
kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat benilai
karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari
kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Kekayaan budaya
Indonesia sangat terkait dengan keanekaragaman bahasa daerah yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke. Karena
kearifan lokal tercermin dari bahasa daerah. Tapi saat ini bahasa daerah di
Indonesia semakin terdesak. Sejumlah bahasa daerah terancam bahkan telah punah
akibat jarangnya hingga tidak adanya penutur atau yang menggunakan bahasa
daerah. Perkembangan industri media massa yang pesat saat ini turut berperan
dalam mempengaruhi semakin terdesaknya bahasa daerah.
Bahasa adalah bagian
penting dari budaya. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat ia memiliki peran
penting dalam mempertahankan budaya suatu masyarakat. Karena bahasa
memanfaatkan tanda-tanda yang ada di lingkungan suatu masyarakat. Kearifan
lokal suatu daerah bisa tercermin dari bahasa yang digunakan. Oleh karena itu
setiap bahasa daerah memiliki nilai luhur untuk menciptakan masyarakatnya
berkehidupan lebih baik menurut mereka.
Bahasa
Jawa yang merupakan peninggalan budaya dari zaman nenek moyang khususnya di
tanah jawa, kian hari menghilang. Bahkan, jika tidak ada usaha untuk
mengembangkan dan melestarikan, diperkirakan punah pada tiga generasi yang akan
datang. Kekhawatiran tersebut sudah dirasakan secara konkret pada masa sekarang
dimana sudah sangat sedikit generasi muda yang tidak bisa membaca aksara Jawa.
Maka, bukan tidak mungkin tak ada yang menguasai bahasa Jawa jika tidak ada
upaya penyelematan.
Fenomena
ditinggalkannya bahasa Jawa sebagai bahasa ibu harus diakui sudah terjadi saat
ini. Banyak orangtua yang menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi pada
kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan komunikasi pada lingkungan
bermasyarakat maupun lingkungan sekolah. Bahasa Indonesia di DIY telah menjadi
pilihan pertama dibandingkan bahasa Jawa, terutama di perkotaan.
Bukan hanya bahasa krama, bahasa ngoko pun sudah
mulai ditinggalkan sebagian masyarakat Jawa. Saat ini hampir semua orangtua di
kota-kota Jawa Tengah mengajari bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi
keluarga sehari-hari, meski sang orangtua seorang jawa tulen. Bila seluruh
Balita sekarang tak ada yang berkomunikasi dengan bahasa kromo, bukan mustahil beberapa generasi akan datang
tak dapat lagi kita jumpai bahasa jawa Kromo. Sungguh sangat memprihatinkan
bila kelak masyarakat kita belajar bahasa Jawa di Suriname, bukan di Indonesia
yang notabene negeri asal bahasa Jawa.Melihat realita diatas, sudah selayaknya
kita terus melestarikan bahasa Jawa tanpa meninggalkan rasa nasionalisme kita.
Di satu sisi, bahasa
merupakan salah satu alat pemersatu dan identitas bangsa dalam komunitasnya
masing-masing, dalam hal ini bahasa Jawa pada komunitas masyarakat Jawa
tentunya. Jika kehidupan bahasa Jawa telah mulai terancam, bagaimana dengan
masyarakatnya? Secara tidak langsung, ketika bahasa Jawa terancam punah, maka
dapat mengakibatkan bercerai-berainya masyarakat Jawa itu sendiri dan berangsur-angsur
hilanglah identitasnya.
Hal ini bukanlah
masalah kecil dalam perkembangan budaya masyarakat Jawa, namun karena tidak
terungkap secara vulgar dalam satu kesatuan masyarakatnya, maka tidak dianggap
sebagai sebuah masalah besar yang mengancam dalam kehidupannya. Hal ini tentu
nengkhawatirkan karena dengan punahnya suatu bahasa berarti punahnya suatu
warisan budaya.
B.
Tujuan
1.
Memahami fenomena
lunturnya bahasa jawa saat ini.
2.
Memahami sebab – sebab
lunturnya bahasa jawa di tanah jawa.
3. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan
untuk mempertahankan/melestarikan
bahasa jawa di tanah jawa.
C.
Rumusan Masalah
1.
Apa sebab lunturnya
bahasa jawa ?
2. Upaya apa saja yang bisa
digunakan untuk menyelamatkan bahasa daerah khususnya bahasa jawa ?
BAB II
ISI
ISI
A.
Sepintas tentang Bahasa Jawa
Indonesia memiliki
sekitar 600 bahasa daerah (BD) yang berperan sebagai bahasa ibu, dengan jumlah
penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Di antara
semua BD tersebut, hanya delapan BD yang dikategorikan BD utama, yaitu bahasa
Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Banjar, dan Bali. Urutan ini
berdasarkan jumlah penuturnya – secara empiris, semakin besar penutur dan
beragam ranah pemakaiannya, maka semakin tinggi vitalitas BD tersebut
(Alwasilah 2006:69). Dari delapan BD utama mengerucut menjadi tiga BD berdasarkan
publikasinya, yaitu Sunda, Jawa, dan Bali.
Secara geografis, Bahasa Jawa merupakan bahasa yang dipakai di daerah -daerah Provinsi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Di Jawa Timur, khusus daerah Besuki sampai Probolinggo bagian utara memakai bahasa campuran antara Bahasa Jawa dan Madura.
Di luar negara Indonesia, negara Suriname adalah Negara yang juga menggunakan Bahasa Jawa.Bahasa Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur atau unggahungguhing basa. Bahasa Jawa adalah satu
dari sedikit bahasa daerah di Indonesia yang memiliki sistem aksara. Aksara
Jawa terdiri dari dua puluh huruf yang berbentuk mirip aksara Bali dan Sunda.
Saat ini aksara Jawa sangat jarang dipakai, tergantikan oleh aksara latin yang
lebih universal. Penggunaan aksara latin membuat aksara Jawa semakin mendekati
kepunahan. Meskipun di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur Sekolah Dasar masih
mengajarkan aksara Jawa, namun masih kurang untuk menjaga eksistensi aksara
Jawa.
B.
Lunturnya Bahasa Daerah
Semakin berkurangnya
orang yang menggunakan bahasa daerah, karena beberapa sebab, di antaranya
kondisi masyarakat yang multietnik sehingga terjadi kontak antar bahasa
sehingga bahasa yang satu lebih sering digunakan daripada bahasa yang lain.
(Tondo, 2009: 278). Tapi selain itu perkembangan media massa yang begitu pesat
saat ini di masyarakat juga turut mempengaruhi berkurangnya penutur bahasa
daerah. Penetrasi media massa yang
begitu luar biasa ke pelosok daerah membuat mereka mengenal bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional.
Faktor-faktor penyebab
punahnya suatu bahasa Menurut pakar bahasa Prof. Dr Edi Subroto (UNS) adalah
ketertarikan generasi muda untuk mempelajari bahasa asing. Mereka cenderung
enggan untuk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian. Selain itu
faktor pendorong punahnya suatu bahasa daerah menurut Prof. Dr. Asim Gunarwan,
pakar bahasa UI adalah faktor vitalisasi linguistik, biaya dan keuntungan.
Orang cenderung untuk lebih mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah
karena faktor keuntungan yang akan didapat. Menurut Asim punahnya suatu bahasa
membutuhkan waktu antara 75-100 tahun atau sekitar 3 generasi. Ia juga melihat
potensi punahnya bahasa Jawa, bahasa Lampung dan Bali.
Faktor – faktor lain penyebab
lunturnya bahasa daerah khususnya bahasa jawa adalah :
1. Malu menggunakan bahasa daerah
Ditemukan
bahwa orang jawa sekarang malu menggunakan bahasa
Jawa, dan lebih menyukai bahasa
Indonesia sebagai bahasa percakapan. (Posted by: Arif Budiman | Jumat, 23
Nopember 2007 Blog pada WordPress.com. | Theme: Ocean Mist by Ed Merritt).
2.
Lingkungan
Pengaruh
lingkungan dalam
keluarga (Jawa) misalnya, sebagian besar tidak lagi menggunakan bahasa jawa seperti yang
terjadi pada jaman era orang-orang tua
terdahulu. Orang – orang tua saat ini lebih banyak menggunakan
bahasa Indonesia.
3. Globalisasi
Globalisasi mempengaruhi bahasa jawa dan kebudayaan. Dampak positif terhadap kebudayaan jawa:
a.
Semakin dikenalnya suatu kebudayaan dari suatu Negara ke seluruh pelosok dunia.
b.
Meningkatkan jumlah devisa negara karena wisata budaya.
c.
Meningkatkan kreativitas dalam berkarya
d.
Membuat kebudayaan semakin maju
Dampak negatif terhadap kebudayaan Jawa
a.
Westernisasi yang semakin marak, dimana budaya barat dianggap sebagai budaya yang lebih maju dan terus ditiru terutama oleh Negara yang sedang berkembang.
b.
Melunturnya jati diri bangsa karena anak muda berkiblat terhadap kebudayaan asing dan kurang menghargai kebudayaan sendiri, sehingga ada kecenderungan kebudayaan semakin lama semakin tergerus arus globalisasi.
c.
Budaya hedonisme dan konsumerisme yang terus berkembang tanpa bisa dicegah.
4.
Penutur
Ada bahasa yang mati karena ditinggalkan oleh para penuturnya. Karena mereka meninggalkan bahasa ibunya dan pindah ke bahasa lain karena dipaksa. Ini terjadi pada penduduk asli Australia. Penuturnya terpaksa memilih pindah ke bahasa lain karena bahasa lain dianggap lebih maju dan modern, sedangkan bahasa ibu dianggap terbelakang, seperti yang terjadi pada mayarakat Papua Nugini.
5.
Mengajarkan bahasa non-ibu sebagai bahasa pendidikan.
Diantara penyebab kepunahan itu, gejala yang terjadi di Indonesia, khususnya Jawa, adalah munculnya generasi muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing yang dianggap lebih maju dan modern.
C.
Kebudayaan dan Bahasa Jawa Harus Dilestarikan dan Dipertahankan.
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi Etnis Jawa. UNESCO mengemukakan bahwa untuk menjaga agar tidak termasuk bahasa yang mengalami kepunahan, Bahasa Jawa harus dilestarikan. Sebagai bahasa ibu, bahasa jawa secara dini harus kita lestarikan agar keberadaannya selalu terjaga dan terhindar dari kepunahan.
Crystal (1997)
mendefinisikan pemertahanan bahasa (language maintenance) sebagai
upaya yang disengaja, diantaranya yaitu: (1) mewujudkan diversitas kultural,
(2) memelihara identitas etnis, (3) memungkinkan adaptabilitas sosial, (4)
secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan (5) meningkatkan kepekaan
linguistis. Kelima poin tersebut satu sama lain saling terkait dengan konteks
kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketahanan budaya perlu diadakan
upaya pemertahanan BD (sebagai bahasa ibu) dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Pertama,
BD akan bertahan jika prestasi dan prestise para penuturnya berkibar minimal di
ranah daerahnya sampai ke ranah nasional bahkan internasional. Salah satu
upayanya yaitu menerjemahkan karya sastra daerah ke bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, contoh terbitnya buku kumpulan puisi Sunda yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan judul “Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java
in Sundanese and English”.
Kedua,
BD akan bertahan jika kemakmuran para penuturnya unggul secara kolektif minimal
di ranah daerahnya. Kelompok yang menguasai sumber-sumber ekonomi akan lebih
mudah menguasai kunci-kunci sosial budaya. Seperti yang dilakukan oleh
Pemerintah Inggris yang mendirikan dan membiayai The British Council sampai
keberadaannya tersebar di seluruh penjuru dunia.
Ketiga, BD
akan bertahan jika para penuturnya aktif menggunakannya dalam media tulis.
Disadari atau tidak, globalisasi saat ini telah menyapu kearifan lokal. Oleh
karena itu, membaca, mengkritik, dan menulis ulang tulisan BD sangat perlu
untuk dilakukan.
Keempat, BD
akan bertahan jika para penuturnya aktif menggunakan teknologi elektronik.
Untuk mengimbangi bahasa Indonesia dan asing, para penutur BD perlu
memanfaatkan teknologi. Kehadiran televisi lokal yang tersebar di Indonesia
merupakan potensi yang perlu dikembangkan dengan mengdepankan BD sebagai bahasa
pengantarnya.
Kelima, BD
akan bertahan jika bahasa pengantar dalam pendidikan menggunakan BD. Hal ini
sesuai dengan fatwa global UNESCO pada tahun 1951 yang mengharuskan bahasa
pengantar pendidikan dalam bahasa ibu. Alasan UNESCO mengeluarkan fatwa
tersebut adalah (1) secara psikologi, siswa memiliki kelekatan emosional
terhadap bahasa ibu, (2) secara sosiologis, bahasa ibu dipergunakan secara
produktif di luar kelas dan dalam keluarga, dan (3) secara edukatif, pengetahuan
akan mudah dicerna oleh siswa manakala disajikan melalui bahasa yang telah
diakrabinya (Alwasilah 2006:77).
Keenam, BD
akan bertahan jika tujuan pengajaran BD di sekolah-sekolah diorientasikan
kepada kefasihan, yakni pembiasaan komunikasi bukan ketepatan dalam struktur
BD. Generasi muda saat ini cenderung malas menggunakan BD karena ada perasaan
takut salah dalam mengaplikasikan struktur BD. Mereka takut melanggar
aturan-aturan struktur BD yang dinilai rumit dan kompleks. Seperti penggunaan
bahasa kromo, ngoko dalam bahasa Jawa dan undak-usuk basa dalam
bahasa Sunda.
Pemertahanan
bahasa daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti digunakannya bahasa
daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan dan digunakannya bahasa daerah
sebagai mata pelajaran tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah
atas. Bahkan, ada pemerintah daerah yang memberlakukan penggunaan bahasa
daearah (Jawa) bagi karyawan pemerintah daerah pada hari tertentu juga
merupakan upaya pemertahanan bahasa daerah.
Pembelajaran bahasa dan sastra jawa sebagai upaya pelestarian kebudayaan dan bahasa jawa:
1. Upaya pelestarian bahasa dalam lingkup formal.
Upaya pelestarian memang perlu mengingat saat ini ada gejala yang menunjukkan bahwa bahasa jawa akan ditinggalkan oleh penuturnya, terutama kaum muda melalui jalur pendidikan, yaitu melalui pembelajaran bahasa dan sastra jawa dalam kerangka budaya jawa. Jalur ini merupakan upaya yang dapat dikatakan sangat efektif dalam usaha pelestarian kebudayaan dan bahasa jawa. Oleh karena itu, bahasa jawa tidak cukup kiranya apabila hanya diberikan kepada siswa pada tingkat SD dan SMP saja, melainkan SMA pula.
Pembelajaran bahasa dan sastra jawa kepada para siswa SD sampai SMA harus berada dalam kerangka budaya kita. Secara geografis bahasa jawa terbagi menjadi tiga dialek besar, yaitu bahasa jawa dialek Surakarta dan Yogyakarta yang dianggap sebagai dialek standar, bahasa jawa dialek Banyumasan, dan bahasa jawa dialek Jawa Timur.
Oleh karena itu pembelajaran bahasa jawa harus disesuaikan dengan budaya di daerah masing-masing. Dengan begitu, pembelajaran akan lebih menarik dan segar. Para pembelajar bahasa jawa dialek Banyumas tidak bersusah payah mempelajari bahasa jawa dialek Surakarta yang terlalu sulit bagi mereka, baik dari segi fonologi, morfologi, maupun kosakatanya.
Dalam situasi-situasi formal lain, misalnya dalam rapat-rapat desa, komunikasi di kantor-kantor desa dan sebagainya. Dalam situasi -situasi formal inilah hendaknya kita lebih menggiatkan pemakaian bahasa jawaagar tidak menjadi asing di rumah kita sendiri, khususnya bagi generasi muda, karena generasi muda Etnis Jawa saat ini telah banyak yang tidak bisa berbahasa Jawa terutama bahasa Jawa ragam krama. Padahal ini penting kaitannya dengan unggah – ungguh (tingkat tutur) dalam kehidupan masyarakat. Unggah – ungguh ini bisa secara otomatis tertanam dalam jiwa seseorang manakala seseorang tersebut memahami unggah – ungguh dalam berbahasa.
2.
Upaya Pelestarian bahasa
jawa dalam lingkup
Non-Formal
Upaya pelestarian bahasa jawa kiranya tidak cukup jika hanya melalui pembelajaran di sekolah. Dalam kegiatan non-formal agar bahasa jawa tetap lestari, bahasa ini sebaiknya juga digunakan oleh para orang tua kepada anak – anaknya.
3.
Pemertahanan Bahasa Daerah dengan Karya
Sastra
Pengunaan bahasa daerah
yang ditampilkan pengarang dalam karya sastra Indonesia juga dapat
disebut sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah dari kepunahan karena
pengarang telah melakukan pendokumenan bahasa dan budaya daerah melalui
karya sastra. Dalam pengajaran bahasa yang tercakup juga pengajaran
sastra diperlukan adanya bahan ajar karya sastra Indonesia. Untuk itu, karya
sastra Indonesia yang menggunakan bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahan
ajar karena akan memberi informasi bahasa daerah dan kandungan nilai yang
ada dalam kata atau bahasa daearah.
Dengan
demikian, siswa mendapat materi bahasa, yaitu bahasa yang tidak sekadar
informasi dan deretan bunyi, tetapi siswa juga dapat belajar dari nilai yang
tertuang dalam kata atau bahasa daerah. Misalnya, ketika kita
mengatakan permohonan maaf yang dalam bahasa Jawa adalah nyuwun sewu
tidak sekadar mengucapkan bunyi [nyuwun sewu], tetapi sekaligus belajar etika
bahwa kata itu digunakan dengan hormat, ikhlas, sopan, dengan suara tidak
keras. Dengan demikian, kita belajar bahasa daerah sekaligus belajar tentang
nilai-nilai local.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Poedjosoedarmo (2003) mengatakan bahwa longgarnya moral
dan etika pada kalangan Jawa erat kaitannya dengan mulai longgarnya penguasaan
generasi muda Jawa akan sistem tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Hal itu dapat
dipahami karena belajar bahasa tidak hanya sekadar belajar menggunakan bahasa
sebagai sarana komunikasi, tetapi juga belajar tentang nilai yang tertuang
dalam bahasa itu.
4.
Melestarikan
Bahasa Jawa melalui sebuah komunitas
Melestarikan bahasa jawa melalui sebuah komunitas telah
dilakukan salah satu contohnya dilakukan oleh Sekar Kedaton. Sekar
Kedaton adalah komunitas perempuan di Jakarta yang mempelajari bahasa dan
budaya Jawa sebagai bagian dari kebinekaan Indonesia. Sekar Kedaton
beranggotakan 14 orang dibentuk pada Februari 2010 sebagai ajang pertemuan
perempuan sambil mengadakan arisan dengan penasihat Kanjeng Raden Mas Haryo
(KRMH) Djatmiko Hamidjojo Santoso, kerabat kraton Mangkunegaran, Solo, yang
akrab disapa Mas Miko. Dari sekadar kumpul-kumpul, tergagas keinginan
untuk mendalami bahasa Jawa. Untuk
memperdalam pengetahuan kebahasaan, mereka mendatangkan guru bahasa Jawa dalam
pertemuan yang mereka gelar sekali sebulan.
Sebagian diatas
hanyalah beberapa cara untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa daerah (BD)
yang dalam makalah ini ditujukan sebagai upaya pemertahanan dan pelestarian
bahasa jawa di tanah Jawa. Tentu tidaklah mudah
mempertahankan BD sebagai bahasa ibu, selain karena derasnya arus globalisasi,
sifat kebahasaan yang arbitrary dan dinamis juga berpengaruh dalam
eksistensi BD di Indonesia. Namun itu semua bukanlah alasan untuk tidak
mempertahankan BD, karena BD adalah kekayaan lokal Indonesia yang harus dijaga
sesuai dengan amanat Pasal 32 ayat 2 UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sebab – sebab
lunturnya budaya bahasa jawa, diantaranya adalah :
a.
Malu menggunakan
bahasa daerah
b.
Lingkungan
c.
Globalisasi
d.
Penutur
e.
Mengajarkan bahasa non-ibu sebagai bahasa pendidikan
f.
Faktor
vitalisasi linguistik, biaya dan keuntungan.
Orang lebih cenderung mempelajari bahasa asing karena keuntungan.
g.
Perkembangan media
masa
2.
Upaya yang dapat
dilakukan unituk mencegah punahnya bahasa jawa,
a.
Upaya pelestarian bahasa dalam lingkup formal, yang dapat dilakukan di sekolah,
dalam rapat-rapat desa,
komunikasi di kantor –kantor desa dan sebagainya.
b.
Upaya pelestarian
bahasa dalam lingkup non formal, seperti menggunakan bahasa jawa dalam
aktivitas sehari – hari.
c.
Upaya pelestarian
bahasa jawa melalui karya sastra
d.
Upaya pelestarian
bahasa jawa melalui sebuah komunitas.
B.
Saran
Untuk itu untuk
melestarikan bahasa hendaknya nenggunakan bahasa daerah sebagai media
komunikasi sehari-hari. Karena keragaman bahasa di Indonesia merupakan kekayaan
khazanah bangsa. Sebenar tidak ada
salahnya jika mempelajari dan menggunakan bahasa Inonesia maupun bahasa asing
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan berkomunikasi
dengan seseorang dilain daerah, akan tetapi akan jauh lebih baik jika bahasa
daerah yang notabennya merupakan bahasa sendiri juga tetap digunakan dalam
aktifitas sehari – hari dan dilestarikan.
Tentu tidaklah mudah
mempertahankan BD sebagai bahasa ibu, selain karena derasnya arus globalisasi,
sifat kebahasaan yang arbitrary dan dinamis juga berpengaruh dalam
eksistensi BD di Indonesia. Namun itu semua bukanlah alasan untuk tidak
mempertahankan BD, karena BD adalah kekayaan lokal Indonesia yang harus dijaga
sesuai dengan amanat Pasal 32 ayat 2 UUD 1945.
C.
Daftar Pustaka
Anonim.2013.Bahasa Jawa Diprediksi Punah Tiga Generasi
lagi (online), (http://jogja.tribunnews.com/rss). diakses pada tanggal 19 Mei 2013
Rusdi, farid.2012.Bahasa
Daerah dan Industri Radio.Jakarta : Universitas Taruma Negara
Septiningsih,
lustantini.2013. Pemertahanan Bahasa Daerah
Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya Sastra (online), (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1286), diakses pada
tanggal 20 Mei 2013
Setyani
indah, turita.2008. Abstraksi
Bahasa Jawa Sebagai Simbol Budaya Masyarakatnya.Depok
: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univesitas Indonesia
Tarniati,
embun.2012.Kemerosotan Pemakaian Bahasa
Jawa (online), (http://embunsayan.blogspot.com/). diakses pada tanggal 19 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar